Korea Selatan, yang sebelumnya hancur karena perang dan tergolong sebagai negara dunia ketiga, muncul sebagai kekuatan ekonomi nomor 10 di dunia, hanya dalam beberapa dekade saja. Namun menurut sejumlah pakar kesehatan jiwa, perkembangan ekonomi yang pesat malah membawa dampak yang buruk.
Apalagi meski tercatat sebagai negara maju, kasus bunuh diri di Korea Selatan tertinggi di dunia. Di negeri gingseng itu bahkan banyak warga membuat perjanjian lewat internet untuk bunuh diri bersama-sama.
Reporter Jason Strother di Seoul, mencari tahu penyebabnya dan berbincang dengan sebuah kelompok, yang berupaya mencegah bunuh diri. Laporannya akan disampaikan Artha Senna.
Di sejumlah peron stasiun kereta api, di Seoul, dibangun pintu kaca yang setinggi langit-langit stasiun. Penghalang ini dibuat, untuk mencegah orang melemparkan diri ke kereta api yang sedang melintas.
Bunuh diri merupakan penyebab kematian nomer empat di Korea. Sebuah survei yang melibatkan 30 negara anggota Organisasi bagi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengungkap, Korea menduduki posisi paling atas, dengan hampir 25 kasus per 100.000 orang. Menurut para ahli kesehatan, ini berarti setiap hari terjadi 33 kasus bunuh diri.
Doktor Hong Kang-Eui, psikiater dan Presiden Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri di Korea mengatakan, jumlah kasus bunuh diri di negeri itu merupakan fenomena baru. Dia yakin, pertumbuhan ekonomi yang pesat telah mengubah pandangan warga soal kehidupan.
“Sistem nilai budaya sudah menghilang. Dulu ada standar nilai internal yang sangat kuat dalam budaya timur atau budaya Korea. Sekarang malah terlalu materialistis, dan terlalu berorientasi ke prestasi.�?
Menurut Hong, penyebabnya adalah berubahnya struktur keluarga. Sebelum keajaiban ekonomi, biasanya sebuah keluarga terdiri dari beberapa generasi yang berbeda, yang tinggal serumah. Tapi sekarang, sebuah keluarga Korea biasanya terdiri dari 3 atau 4 orang saja.
“Itu berarti sistem pendukung sosial telah berubah. Sebelumnya hubungan keluarga sangat dekat, dan mereka saling menolong dan tergantung satu sama lain. Sekarang mereka lebih indpenden, keluarga-keluarga semakin kecil. Dan kalau suatu hal terjadi, jarang sekali ada dukungan dari orang lain.“
Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri merupakan organisasi swasta dan menerima dana yang kecil dari pemerintah. Mereka melatih para orang tua, guru dan professional lainnya untuk mengetahui berbagai tanda orang yang punya kecenderungan melakukan bunuh diri.
Tapi mungkin tugas terbesar kelompok itu adalah memonitor internet. Korea Selatan merupakan salah satu negara pengguna internet terbesar di dunia, menurut Hong, internet dipakai untuk memfasilitasi bunuh diri. Dia mengatakan banyak warga membuat perjanjian lewat internet dan setelah itu mereka bertemu untuk bunuh diri bersama-sama.
“Para pemuda yang ingin bunuh diri bisa berkumpul lewat chatting lalu langsung ketemu dan bunuh diri. Mereka tidak berani melakukannya sendirian. Tapi kalau dua atau tiga orang berkumpul mereka berani, seperti loncat sama-sama. Bahkan ada situs yang menjual berbagai barang dan cara bunuh diri seperti dengan menggunaka narkoba dan sejenisnya. Kami berusaha untuk menghentikan hal ini.�?
Hong menuturkan, pada tahun 2006, timnya telah mengidentifikasi dan menutup sekitar 600 situs bunuh diri. Bahkan pada tahun ini saja, 250 situs telah ditutup.
Dia menambahkan, banyak orang muda Korea putus asa karena gagal masuk universitas. Selain itu karena tidak mendapatkan pekerjaan atau tidak menghasilkan uang. Bunuh diri merupakan penyebab kematian pertama bagi para lelaki Korea yang berusia antara 18 hingga 35 tahun.
Di kampus Universitas Jang An, Seoul, para mahasiswa menyadari kalau bunuh diri adalah masalah besar yang dihadapi generasinya.
“Ada banyak sekali tekanan dan persaingan di universitas. Ini membuat orang-orang merasa sangat putus asa.”
“Di universitas, ada pusat konseling yang bisa membantau para mahasiswa. Tapi setelah mereka lulus dan terjun ke masyaarakat, mereka tidak bisa mendapatkan pertolongan.�?
“Sekarang banyak orang muda yang suka pakai komputer, mereka tidak berinteraksi dengan orang lain. Mereka tidak berbicara soal masalah pribadinya. “
Sebuah laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengungkap, 90 persen dari kasus bunuh diri di seluruh dunia diakibatkan oleh kelainan mental atau depresi.
Tapi di Korea, bantuan psikiater masih dianggap tabu. Padahal menurut Asosiasi Pencegahan Tindakan Bunuh Diri, pandangan itu malah mencegah banyak orang yang ingin bunuh diri untuk mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan.